Diatmika Wijayanti
Menurut Kartini
Kartono, masalah sosial merupakan semua bentuk tingkah laku yang melanggar adat
istiadat masyarakat. Suatu masalah dianggap masalah sosial ketika sebagian
besar masyarakat menganggap hal tersebut menganggu, tidak dikehendaki,
berbahaya, dan merugikan banyak orang. Dari pengertian masalah sosial menurut
Kartini Kartono tersebut diketahui bahwa masalah sosial adalah hal yang tidak
diinginkan oleh masyarakat karena menganggu, berbahaya, dan merugikan banyak
orang.
Salah
satu masalah sosial adalah pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan banyak
terjadi di berbagai daerah, tidak terkecuali di Kalimantan Selatan. Pencemaran
lingkungan adalah tindakan merusak lingkungan baik air, tanah, dan udara yang
dilakukan oleh oknum orang, perusahaan, pabrik, atau lembaga lainnya dan
mengakibatkan ekosistem alam terganggu. Bisa dilihat dan dibuktikan sendiri,
kondisi alam di beberapa daerah di Kalimantan Selatan rusak mengalami
perubahan. Daerah yang awalnya hutan sekarang menjadi gundul, terjadi bencana tanah
longsor, banjir, adanya bekas lubang tambang yang dibiarkan begitu saja, dan
juga banyaknya debu.
Indonesia kaya akan
sumber daya alam, termasuk Provinsi Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan,
Kalimantan Selatan memiliki potensi kekayaan tambang yang jumlahnya berlimpah
dan banyak jenisnya: bijih besi yang mencapai 5.000.000 ton, batu gamping yang
mencapai 400.000.000 meter kubik lebih, pospat
mencapai 25.000 ton, pasir kuarsa yang mencapai 2.000.000.000 ton,
marmer mencapai 2.000.000.000 meter kubik lebih, dan kaolin sebanyak lebih dari
12.000.000 ton. Sementara itu, di Papua cadangan emas mencapai 2, 8 miliar ton.
Saat ini, emas di Papua ditambang oleh perusahaan produsen emas, Freeport
Mcmoran Copper and Gold, melalui usahanya PT Freeport Indonesia, meskipun
sekarang sebesar 51% saham sudah dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Kembali ke kasus
kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan, studi kasus dari Green Peace, salah
satu organisasi nirlaba yang berfokus pada masalah lingkungan hidup menyebutkan
semenjak beroperasinya PT. Indominco Mandiri di daerah Hulu Sungai Santan,
warga merasakan kualitas air sungai semakin menurun yang memberi dampak
langsung bagi kehidupan masyarakat lokal. Penurunan kualitas sungai yang
ditandai dengan perubahan warna air sungai, diikuti juga dengan matinya
ikan-ikan dan masyarakat juga kerap merasakan gatal-gatal saat mandi
menggunakan air Sungai Santan.
Pencemaran lingkungan
akibat tambang sering dibahas oleh Greenpeace. Pada tahun 2014, Greenpeace
meluncurkan laporan berjudul “Terungkap:
Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan”, yang menjelaskan
aktivitas pertambangan batubara yang luas di Provinsi Kalimantan Selatan, telah
merusak sumber air, membahayakan kesehatan, dan masa depan masyarakat setempat.
Laporan tersebut berupa hasil investigasi lapangan Greenpeace selama kurang
lebih enam bulan yang menyajikan bukti kuat perusahaan-perusahaan tambang
batubara melakukan tindakan merusak lingkungan seperti membuang limbah
berbahaya ke dalam sungai dan sumber-sumber air masyarakat serta
melanggar standar nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.
Dalam laporan tersebut
tercatat bahwa duapuluh dua (22) dari duapuluh sembilan (29) sample yang
diambil oleh Greenpeace dari kolam penampungan limbah dan lubang-lubang
bekas tambang dari lima konsesi pertambangan batubara di Kalimantan
Selatan ditemukan bahwa air tersebut memiliki derajat keasaman (pH)
yang sangat rendah, jauh di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Dari
seluruh sampel, 18 diantaranya memiliki derajat keasaman (pH) di bawah 4.
Seluruh sampel yang diambil juga terdeteksi mengandung konsentrasi logam
berat. Tidak menutup kemungkinan, air di lubang bekas tambang mengalami kebocoran
dan berpotensi keluar dari kolam-kolam yang terkontaminasi limbah berbahaya kemudian
masuk ke rawa-rawa, anak sungai dan sungai di sekitarnya.
Terkait hal ini,
Greenpeace mengeluarkan beberapa rekomendasi dan tuntutan. Pertama, perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang meraup
untung dari aktivitas pertambangan yang kotor dan ilegal tersebut harus
bertanggung jawab secara hukum dan moral untuk memulihkan lingkungan dari
aktivitas ilegal mereka, yaitu mengurangi limbah dari badan-badan air, atau
bahkan izin dari perusahaan tersebut harus dicabut.
Kedua, perusahaan yang terbukti
melanggar hukum harus bertanggung jawab membiayai operasi pembersihan,
bahkan jika izin pertambangan mereka sudah selesai atau dicabut karena masalah
air asam tambang akan bertahan selama beberapa dekade. Pemerintah tidak
boleh memberi perusahaan pertambangan batubara “izin untuk meracuni”
lingkungan dan masyarakat Kalimantan Selatan.
Ketiga, otoritas pemerintahan yang
terkait harus memantau dan melakukan investigasi secara lebih mendalam
perusahaan-perusahaan pertambangan batubara yang melanggar standard nasional,
dan mencemari lingkungan. Penegakan hukum harus diperketat, sanksi harus
dipertegas, dan celah-celah regulasi harus ditutup.
Dengan sedemikian
negatif kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Selatan apa pendapat
dari masyarakat? Masyarakat Kalimantan Selatan tentunya tidak hanya diam.
Mereka juga menyuarakan keberatan atas tambang yang merusak lingkungan. Seperti
yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Hulu Sungai Tengah
yang mengkhawatirkan dampak lingkungan dan dampak sosial luar biasa, jika Pegunungan Meratus juga dirambah pertambangan,
terlebih sudah ada daerah yang mengalami dampak negatif tambang.
Berdasarkan analisa
AMAN, salah seorang masyarakat menyatakan dampak buruk penambangan batu bara
sudah dirasakan warga Kalsel. Kawasan daratan Kalsel telah hancur, selain hutan
gundul karena penebangan kayu secara membabi buta, di kawasan pertambangan
besar terdapat beberapa tandon raksasa atau kawah besar bekas tambang
menyebabkan bumi menganga yang tak mungkin bisa direklamasi, hingga akhirnya
dibiarkan begitu saja. Begitu pula di Satui dimana perusahaan tambang
beroperasi terdapat lubang-lubang, meski perusahaan itu relatif berhasil
mereklamasinya.
Dari hasil penelitian
dan pengamatan secara langsung , dampak yang ditimbulkan dari tambang adalah
jelas kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan yang mengancam ekosistem alam,
terancamnya lingkungan hidup hewan di hutan dan juga manusia, banjir akibat
tidak adanya pohon sebagai penyerap air, berkurangnya lahan hijau sebagai
paru-paru dunia, banyaknya lubang bekas tambang yang tidak bisa dimanfaatkan,
dan longsornya tanah. Dengan demikian, kerusakan lingkungan termasuk masalah
sosial karena merupakan hal yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena
menganggu, berbahaya, dan merugikan banyak orang
Solusinya adalah
harus ada kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus membuat
peraturan yang melindungi hutan atau lingkungan di Kalsel, bukan justru
memperluas izin pengelolaan hutan yang berakibat negatif bagi ekosistem alam. Masyarakat
juga perlu aktif mengedukasi diri mereka sendiri bahwa jangan hanya keuntungan
yang dikejar sehingga melakukan pembiaran terhadap perusakan lingkungan.
Solusi lain yang bisa
dilakukan adalah melakukan Fitoremediasi. Apa itu fitoremediasi? Fitoremediasi
adalah hasil penelitian dari Antun Puspanti, peneliti Balai Penelitian
Teknologi Konservasi Sumber Daya alam Samboja. Dalam kajian tersebut dipaparkan bahwa Fitoremediasi
sebagai salah satu pendukung kegiatan pengelolaan lahan paska penambangan batubara. Kajian tersebut
termuat pada Prosiding
Seminar Hasil-hasil Penelitian “Reklamasi Lahan Pasca Tambang: Aspek Kebijakan,
Konservasi dan Teknologi”. Fitoremediasi mampu mendukung
kegiatan reklamasi sebagai pengelolaan lahan pasca penambangan batubara akibat
sistem pertambangan terbuka (open pit
mining) yang banyak diterapkan pelaku pertambangan di Indonesia.
Pada dasarnya,
fitoremediasi adalah teknik yang melibatkan tumbuhan berklorofil untuk
mengurangi kandungan polutan pada tanah dan air. Teknik ini dianggap cukup
menjanjikan sebagai alternatif teknologi untuk membersihkan lingkungan dari
polutan karena dinilai efektif, efisien, lebih ekonomis dan bersifat
berkelanjutan.
Sumber: